Menggali nilai-nilai luhur khas Bangsa Indonesia salah satunya mungkin dapat dilakukan dengan mengintip kisah-kisah dari dunia pewayangan. Konon kisah-kisah tersebut sarat muatan makna, membungkus nilai-nilai kearifan lokal dalam cerita-cerita yang sederhana. Saking simpelnya, sampai-sampai demikian elastisnya berbagai lakon wayang itu dibawa kemanapun oleh siapapun yang berkepentingan, contoh kecilnya mungkin mata kuliah Islam dan Budaya Lokal, yang epistemologinya otak-atik gathuk.
Alkisah, Prabu Suyudana alias Duryudana menginginkan untuk mendapatkan Wahyu Makutha Rama. Maka, ia mengerahkan Adipati Karna dan seluruh wadyabala Kurawa untuk mewujudkan keinginannya itu. Adat kebiasaan Bangsa Kurawa yang grusa-grusu, beraninya keroyokan, dan mengedepankan otot itu tentu saja tak membuat rela hati si empunya wahyu. Begawan Kesawasidi justru kemudian menganugerahkan wahyu tersebut kepada Raden Arjuna, tokoh Pandawa yang doyan tapa brata.
Gerangan apa yang terkandung dalam Wahyu Makutha Rama sehingga menjadi rebutan dan impian banyak orang, ternyata adalah wahyu keprabon atau wahyu kepemimpinan. Wahyu tersebut disertai ajaran Hastha Brata, yaitu ajaran yang mengambil keteladanan dari sifat/watak yang dimiliki oleh dewa-dewa yang menjadi penguasa 8 penjuru alam, yakni Bathara Wisnu, Bathara Bayu, Bathara Baruna, Bethari Ratih, Bathara Surya, Bathara Indra, Bathara Brahma, dan Bathara Ismaya.
Bathara Wisnu Sang Dewa Bumi. Bumi atau tanah adalah bahan asal sekaligus tempat kembali manusia. Di bumilah manusia hidup (baca : tinggal) dan memperoleh penghidupannya, karena di bumilah tumbuh dan terpendam berbagai apa yang diperlukan manusia untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Berkaca dari watak bumi, seorang pemimpin hendaknya bersifat membumi, dekat dengan rakyatnya dengan kesabaran tanpa batas, menjadi penampung keluh kesah, sekaligus pemberi solusi. Selain itu, totalitas bumi yang menyerahkan segenap potensi dirinya demi kemaslahatan kehidupan makhluk di atasnya, patutlah menjadi teladan bagi seorang pemimpin dalam mendarmabaktikan segenap kemampuannya kepada umat.
Bathara Bayu sang dewa maruta/angin. Seorang pemimpin, dalam ajaran Hastha Brata, hendaknya berwatak seperti angin, yang dapat menembus lapisan mana saja dari rakyatnya tanpa pilih kasih dan pandang bulu. Juga menjadi penyejuk suasana yang selalu dinantikan kehadirannya.
Bathara Baruna Sang Dewa Samudra. Samudra adalah tempat yang sangat luas tempat hidup berbagai makhluk, juga menjadi salah satu sumber penghidupan bagi khalifah di muka bumi ini (baca : manusia). Meneladani sifatnya, seorang pemimpin hendaknya berusaha “seluas” mungkin dalam berbagai hal, seperti wawasan, kebijaksanaan, rasa empati, dan sebagainya. Ia harus selalu berusaha meng-update kualitas pribadinya sekaligus peka dan cepat tanggap terhadap berbagai perubahan.
Samudra tak terpisahkan maknanya dari air. Air dalam filsafat Jawa dimaknai dengan sifat adil dan legowo, menjadi sumber penghidupan, keselamatan, dan ketentraman hidup, serta fungsi khususnya yang mampu mensucikan hal-hal yang kotor. Pemimpin berwatak samudra tentu akan menjadi pengayom dan pelindung bagi rakyat dengan segenap kerendahan hatinya.
Bethari Ratih Sang Dewa Rembulan. Rembulan selalu dikonotasikan dengan watak lemah-lembut, luwes, dan penuh kasih. Doktrin kepemimpinan ala Wahyu Makutha Rama ini mengajarkan bahwa hendaklah setiap pemimpin bersifat lemah-lembut, jauh dari sikap diktator apalagi arogan; luwes, dalam arti tidak kaku (baca : anti-kritik, ingin menang sendiri), mampu memposisikan diri di tengah-tengah rakyatnya dari semua kalangan; dan menjadi figur yang menyenangkan bagi rakyatnya.
Bathara Surya Sang Dewa Matahari. Matahari selalu dikatakan sebagai sumber energi terbesar di bumi. Mengambil karakter ini, sang pemimpin seharusnya mampu menjadi motor sekaligus motivator bagi yang dipimpinnya. Menukil semboyan Ki Hajar Dewantara, seorang pemimpin hendaknya ing ngarsa sung tuladha (tampil di depan sebagai teladan), ing madya mangun karsa (berada di tengah menjadi motor penggerak sekaligus stimulator ide-ide cemerlang), dan tut wuri handayani (sebagai aktor intelektual yang senantiasa memberi semangat dan kekuatan).
Bathara Indra Sang Dewa Angkasa. Angkasa/langit adalah tempat bernaung makhluk. Langit pula, menurut filsafat Jawa, yang mempunyai peran dalam pergantian musim di bumi. Seorang pemimpin yang mengambil ibrah dari sifat langit, hendaknya selalu berusaha menjadi tempat berlindung bagi rakyatnya. Ia juga harus mampu menentukan berbagai kebijakan yang tepat dan akurat demi kemaslahatan umat.
Bathara Brahma sang dewa dahana/api. Karakter positif api yang terkonsep dalam wahyu kepemimpinan Makutha Rama yaitu mempunyai sifat pelebur, mrantasi gawe tanpa memandang besar-kecilnya hal/masalah yang dihadapi. Selain itu, sifat menyala-nyala api adalah keteladanan tersendiri bagi seorang pemimpin untuk menjadi pengobar semangat bagi rakyatnya, dalam keadaan sangat kritis sekalipun.
Bathara Ismaya Sang Dewa Kartika/Bintang. Bintang, dari zaman kuno di semua bangsa di penjuru dunia, jauh sebelum berkembangnya IPTEK yang memunculkan berbagai peralatan canggih, telah dikenal sebagai penuntun arah bagi manusia, bahkan saat di tengah-tengah lautan sekalipun. Seorang pemimpin harus laksana bintang, selalu siap dalam kondisi bagaimanapun, menjadi panutan dan penuntun arah yang benar bagi rakyat.
Demikianlah Wahyu Makutha Rama dengan 8 inti ajaran Hastha Bratanya, yang saling berkelindan satu sama lain. Setidaknya mengingatkan kita, bahwa kepemimpinan yang baik bukanlah yang menggunakan cara-cara diktator, arogan, gila hormat, dan sebagainya, melainkan justru harus mengedepankan sikap santun dan menyatu dengan siapa saja di bawah kepemimpinannya. Bagi kita umat Islam, terdapat uswah hasanah pertama dan utama yang harus kita teladani tidak hanya aspek kepemimpinannya melainkan keseluruhan pola hidupnya, seseorang yang menjadi wujud hidup Al-Qur’an, Sang Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Bagi pemimpin umat terakhir ini, kita adalah catatan terpentingnya, hingga pun kematian di ambang pintu, yang dilafalkannya adalah kita, kita, dan kita.
Sejatinya, masing-masing kita adalah pemimpin, yang kelak pasti akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang telah diamanahkan kepada kita (al-hadits), paling tidak yaitu amanah (baca : pernah) hidup di muka bumi ini. Semoga sedikit hikmah dari Wahyu Makutha Rama, dan contoh kecintaan umat tanpa batas dari Sang Teladan, dapat me-refresh diri kita untuk mengingat kembali, dan memberi energi positif untuk melaksanakan amanah kepemimpinan yang kita emban, se-dzarrah ataupun se-bumi-langit pun itu. Amin. (Bunda Najkha)
Follow @SDI_Arrahmah
Bathara Wisnu Sang Dewa Bumi. Bumi atau tanah adalah bahan asal sekaligus tempat kembali manusia. Di bumilah manusia hidup (baca : tinggal) dan memperoleh penghidupannya, karena di bumilah tumbuh dan terpendam berbagai apa yang diperlukan manusia untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Berkaca dari watak bumi, seorang pemimpin hendaknya bersifat membumi, dekat dengan rakyatnya dengan kesabaran tanpa batas, menjadi penampung keluh kesah, sekaligus pemberi solusi. Selain itu, totalitas bumi yang menyerahkan segenap potensi dirinya demi kemaslahatan kehidupan makhluk di atasnya, patutlah menjadi teladan bagi seorang pemimpin dalam mendarmabaktikan segenap kemampuannya kepada umat.
Bathara Bayu sang dewa maruta/angin. Seorang pemimpin, dalam ajaran Hastha Brata, hendaknya berwatak seperti angin, yang dapat menembus lapisan mana saja dari rakyatnya tanpa pilih kasih dan pandang bulu. Juga menjadi penyejuk suasana yang selalu dinantikan kehadirannya.
Bathara Baruna Sang Dewa Samudra. Samudra adalah tempat yang sangat luas tempat hidup berbagai makhluk, juga menjadi salah satu sumber penghidupan bagi khalifah di muka bumi ini (baca : manusia). Meneladani sifatnya, seorang pemimpin hendaknya berusaha “seluas” mungkin dalam berbagai hal, seperti wawasan, kebijaksanaan, rasa empati, dan sebagainya. Ia harus selalu berusaha meng-update kualitas pribadinya sekaligus peka dan cepat tanggap terhadap berbagai perubahan.
Samudra tak terpisahkan maknanya dari air. Air dalam filsafat Jawa dimaknai dengan sifat adil dan legowo, menjadi sumber penghidupan, keselamatan, dan ketentraman hidup, serta fungsi khususnya yang mampu mensucikan hal-hal yang kotor. Pemimpin berwatak samudra tentu akan menjadi pengayom dan pelindung bagi rakyat dengan segenap kerendahan hatinya.
Bethari Ratih Sang Dewa Rembulan. Rembulan selalu dikonotasikan dengan watak lemah-lembut, luwes, dan penuh kasih. Doktrin kepemimpinan ala Wahyu Makutha Rama ini mengajarkan bahwa hendaklah setiap pemimpin bersifat lemah-lembut, jauh dari sikap diktator apalagi arogan; luwes, dalam arti tidak kaku (baca : anti-kritik, ingin menang sendiri), mampu memposisikan diri di tengah-tengah rakyatnya dari semua kalangan; dan menjadi figur yang menyenangkan bagi rakyatnya.
Bathara Surya Sang Dewa Matahari. Matahari selalu dikatakan sebagai sumber energi terbesar di bumi. Mengambil karakter ini, sang pemimpin seharusnya mampu menjadi motor sekaligus motivator bagi yang dipimpinnya. Menukil semboyan Ki Hajar Dewantara, seorang pemimpin hendaknya ing ngarsa sung tuladha (tampil di depan sebagai teladan), ing madya mangun karsa (berada di tengah menjadi motor penggerak sekaligus stimulator ide-ide cemerlang), dan tut wuri handayani (sebagai aktor intelektual yang senantiasa memberi semangat dan kekuatan).
Bathara Indra Sang Dewa Angkasa. Angkasa/langit adalah tempat bernaung makhluk. Langit pula, menurut filsafat Jawa, yang mempunyai peran dalam pergantian musim di bumi. Seorang pemimpin yang mengambil ibrah dari sifat langit, hendaknya selalu berusaha menjadi tempat berlindung bagi rakyatnya. Ia juga harus mampu menentukan berbagai kebijakan yang tepat dan akurat demi kemaslahatan umat.
Bathara Brahma sang dewa dahana/api. Karakter positif api yang terkonsep dalam wahyu kepemimpinan Makutha Rama yaitu mempunyai sifat pelebur, mrantasi gawe tanpa memandang besar-kecilnya hal/masalah yang dihadapi. Selain itu, sifat menyala-nyala api adalah keteladanan tersendiri bagi seorang pemimpin untuk menjadi pengobar semangat bagi rakyatnya, dalam keadaan sangat kritis sekalipun.
Bathara Ismaya Sang Dewa Kartika/Bintang. Bintang, dari zaman kuno di semua bangsa di penjuru dunia, jauh sebelum berkembangnya IPTEK yang memunculkan berbagai peralatan canggih, telah dikenal sebagai penuntun arah bagi manusia, bahkan saat di tengah-tengah lautan sekalipun. Seorang pemimpin harus laksana bintang, selalu siap dalam kondisi bagaimanapun, menjadi panutan dan penuntun arah yang benar bagi rakyat.
Demikianlah Wahyu Makutha Rama dengan 8 inti ajaran Hastha Bratanya, yang saling berkelindan satu sama lain. Setidaknya mengingatkan kita, bahwa kepemimpinan yang baik bukanlah yang menggunakan cara-cara diktator, arogan, gila hormat, dan sebagainya, melainkan justru harus mengedepankan sikap santun dan menyatu dengan siapa saja di bawah kepemimpinannya. Bagi kita umat Islam, terdapat uswah hasanah pertama dan utama yang harus kita teladani tidak hanya aspek kepemimpinannya melainkan keseluruhan pola hidupnya, seseorang yang menjadi wujud hidup Al-Qur’an, Sang Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Bagi pemimpin umat terakhir ini, kita adalah catatan terpentingnya, hingga pun kematian di ambang pintu, yang dilafalkannya adalah kita, kita, dan kita.
Sejatinya, masing-masing kita adalah pemimpin, yang kelak pasti akan dimintai pertanggungjawaban dari apa yang telah diamanahkan kepada kita (al-hadits), paling tidak yaitu amanah (baca : pernah) hidup di muka bumi ini. Semoga sedikit hikmah dari Wahyu Makutha Rama, dan contoh kecintaan umat tanpa batas dari Sang Teladan, dapat me-refresh diri kita untuk mengingat kembali, dan memberi energi positif untuk melaksanakan amanah kepemimpinan yang kita emban, se-dzarrah ataupun se-bumi-langit pun itu. Amin. (Bunda Najkha)
5 komentar:
Banyak sekali nilai-nilai kearifan lokal yang dapat kita ambil pelajaran dan manfaatnya. Tugas kita sebagai generasi muda adalah terus menjaga & melestarikan kearifan lokal tersebut supaya tidak hilang digerus zaman. Stop Dreaming Keep Action!!!
@Interisti Curva Nord Sepakat dengan yang anda utarakan. :)
slamat memunaikan ibadah puasa ya...hehehe...ajaran hastha brata smg sdikit mengilhami kita untuk lebih sabar, hehehe....
hal ini berarti kita mempelajari budaya lokal bukan mempelajari unsur agama hindu-budha tho...?
ambil y baik..
Posting Komentar