Ilmu pengetahuan abad dua puluh telah memberi
umat manusia berkah melimpah. Ia telah memberi manusia kemudahan materi,
meluasnya cakrawala pikiran dan pandangannya tentang dunia (welthansaung).
Tetapi ia juga mendatangkan kegelisahan jiwa yang hebat, dan hilangnya
perhatian kita secara bertahap pada pedoman spiritual (baca : agama) dan etika
--- “ Kebenaran, kehormatan dan keadilan” --- yang telah menjadi benteng kokoh
setiap peradaban besar masa lalu.
Sekarang ini
hal-hal absolut tampaknya menjadi impian yang tidak bisa terwujud. Saat kita
sekarang ini adalah sebuah dunia relativitas yang baru dan asing. Penting bagi
kita untuk menemukan suatu pengganti yang bermakna bagi kesadaran kita atas
makna yang telah hilang.
Secara umum diakui kita hidup di zaman krisis. Tanda-tandanya
dapat dilihat dimana-mana; dalam pertentangan global yang kuat dari
ideologi-ideologi sosial yang tak sepaham; dalam kebingungan spiritual yang
dipicu oleh ilmu pengetahuan modern. Dalam tantangan terhadap konsepsi-konsepsi
moral kuno tentang amoralitas yang sinis dan terus berkembang, dalam pola hidup
serba cepat (praktis) dan kacau yang sungguh-sungguh menyerang kesehatan jiwa
kita.
Kita berbicara tentang “perdamaian”, meskipun tahu
bahwa perdamaian bukanlah hasil dari kegelisahan, ketakutan dan keraguan. Kita
berbicara tentang “kemakmuran”, namun hal itu menyeret diri kita sendiri
dalam utang yang mencemaskan. Kita meneriakan “kemerdekaan”, namun
menyamakan cita-cita dengan kebebasan orang lain untuk menjadi persis --- hanya
seperti --- diri kita sendiri. Kita memuji “persamaan hak (emansipasi)”,
meskipun kata itu sering kali menjadi slogan yang membelenggu inisiatif. Lebih
parahnya lagi kita berbicara tentang “kemajuan”, namun
kita sendiri takut bahkan tidak menginginkan orang lain berkembang setara atau
melebihi kita.
Ilmu pengetahuan, pemberi banyak berkah, juga mendatangkan
apa yang mungkin menjadi ujian terbesar yang pernah dihadapi umat manusia.
Masalahnya bukan apakah kemajuan ilmu pengetahuan akan menjadi sebab kehancuran
umat manusia. Tetapi, yang dipertaruhkan adalah kemampuan kita untuk
menyeimbangkan prestasi lahiriah dengan pencerahan batiniah (spiritual).
Manusia dalam situasi bahaya semacam ini dapat dibandingkan
dengan sebuah roda yang gaya keseimbangannya tidak sempurna, yang bekerja
dengan baik selama putarannya pelan, tetapi mungkin akan hancur
berkeping-keping saat kecepatannya bertambah. Kemajuan ilmiah sangat mungkin
akan menghancurkan kita, jika tidak keseimbangan (unbalance)
dalam kodrat manusia tidak diperbaiki
dengan cara yang sama hati-hatinya dengan kesalahan yang terjadi dalam
laboratorium fisika.
Pertanyaan yang sangat penting adalah, apakah unbalance
dalam kodrat manusia itu dapat diperbaiki?
Tujuan setidaknya bisa dicapai jika kita berpikir hal itu
bisa dicapai. Tetapi, bagaimana kalau justru kita sendiri yakin bahwa tujuan
itu sendiri bahkan tidak ada? Bahkan para ilmuan yang setia - pecinta
obyektivitas - bekerja sesabar mungkin hanya karena kepercayaan mereka pada
kemungkinan pencapaian tujuan itu. Berjuang akan menjadi sesuatu yang
menggelikan (konyol dengan meminjam istilah emha), jika kita yakin bahwa
seluruh perjuangan itu sia-sia.
Disinilah kita menemukan inti kesulitan kita akhir-akhir ini.
Kita berbicara tentang pentingnya berkembang secara moral dan spiritual, tetapi
sementara berbicara dengan sungguh-sungguh tentang “nilai-nilai baru” kita
menemukan kecurigaan yang semakin besar. Yang semakin sering disuarakan, bahwa
sesungguhnya nilai-nilai itu tidak ada.
Pandangan lama yang kita pegang
tentang alam semesta yang diatur oleh Yang Maha atau Aku dengan “A kapital”
sedang ditantang oleh konsep yang berlawanan tentang alam semesta yang tidak
diatur sama sekali – sebuah alam semesta yang pada dasarnya irrasional dan tak
bermakna.
Sungguh, makna final apa yang
harus kita simpulkan dari rencana segala hal dimana seluruh realitas pasti
justru ada yang semata-mata sebagai relativitas – dimana waktu itu sendiri
tidak mempunyai definisi absolut. (penemuan Einsten bahwa waktu adalah relatif;
berarti bahwa seorang pemuda mungkin melakukan perjalanan ke suatu bintang yang
sangat jauh dalam kapal luar angkasa, dan kembali masih dalam keadaan muda,
sementara orang yang ia tinggalkan sudah tua dan meninggal. Perjalanan yang
hanya membutuhkan waktu 1 tahun menurut perhitungannya mungkin menghabiskan
waktu 40 tahun menurut perhitungan di bumi).
Geometri Euklid, yang selama
berabad-abad logikanya yang jelas dianggap sebagai “kebutuhan pemikiran” dan
bukti nyata kesempurnaan hukum Allah, tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan
logis sama sekali. To be continou
Follow @SDI_Arrahmah
1 komentar:
Wah... Keknya udah lama gak apdet ni blog-nya.
Mimin mana Mimin?
Heee.. Hee......
Posting Komentar