Bergabung Dengan Kami!!

Krisis Dalam Pemikiran Modern

Ilmu pengetahuan abad dua puluh telah memberi umat manusia berkah melimpah. Ia telah memberi manusia kemudahan materi, meluasnya cakrawala pikiran dan pandangannya tentang dunia (welthansaung). Tetapi ia juga mendatangkan kegelisahan jiwa yang hebat, dan hilangnya perhatian kita secara bertahap pada pedoman spiritual (baca : agama) dan etika --- “ Kebenaran, kehormatan dan keadilan” --- yang telah menjadi benteng kokoh setiap peradaban besar masa lalu.
Sekarang ini hal-hal absolut tampaknya menjadi impian yang tidak bisa terwujud. Saat kita sekarang ini adalah sebuah dunia relativitas yang baru dan asing. Penting bagi kita untuk menemukan suatu pengganti yang bermakna bagi kesadaran kita atas makna yang telah hilang.
Secara umum diakui kita hidup di zaman krisis. Tanda-tandanya dapat dilihat dimana-mana; dalam pertentangan global yang kuat dari ideologi-ideologi sosial yang tak sepaham; dalam kebingungan spiritual yang dipicu oleh ilmu pengetahuan modern. Dalam tantangan terhadap konsepsi-konsepsi moral kuno tentang amoralitas yang sinis dan terus berkembang, dalam pola hidup serba cepat (praktis) dan kacau yang sungguh-sungguh menyerang kesehatan jiwa kita.
Kita berbicara tentang “perdamaian”, meskipun tahu bahwa perdamaian bukanlah hasil dari kegelisahan, ketakutan dan keraguan. Kita berbicara tentang “kemakmuran”, namun hal itu menyeret diri kita sendiri dalam utang yang mencemaskan. Kita meneriakan “kemerdekaan”, namun menyamakan cita-cita dengan kebebasan orang lain untuk menjadi persis --- hanya seperti --- diri kita sendiri. Kita memuji “persamaan hak (emansipasi)”, meskipun kata itu sering kali menjadi slogan yang membelenggu inisiatif. Lebih parahnya lagi kita berbicara tentang “kemajuan”, namun kita sendiri takut bahkan tidak menginginkan orang lain berkembang setara atau melebihi kita.
Ilmu pengetahuan, pemberi banyak berkah, juga mendatangkan apa yang mungkin menjadi ujian terbesar yang pernah dihadapi umat manusia. Masalahnya bukan apakah kemajuan ilmu pengetahuan akan menjadi sebab kehancuran umat manusia. Tetapi, yang dipertaruhkan adalah kemampuan kita untuk menyeimbangkan prestasi lahiriah dengan pencerahan batiniah (spiritual).
Manusia dalam situasi bahaya semacam ini dapat dibandingkan dengan sebuah roda yang gaya keseimbangannya tidak sempurna, yang bekerja dengan baik selama putarannya pelan, tetapi mungkin akan hancur berkeping-keping saat kecepatannya bertambah. Kemajuan ilmiah sangat mungkin akan menghancurkan kita, jika tidak keseimbangan (unbalance) dalam kodrat manusia  tidak diperbaiki dengan cara yang sama hati-hatinya dengan kesalahan yang terjadi dalam laboratorium fisika.
Pertanyaan yang sangat penting adalah, apakah unbalance dalam kodrat manusia itu dapat diperbaiki?
Tujuan setidaknya bisa dicapai jika kita berpikir hal itu bisa dicapai. Tetapi, bagaimana kalau justru kita sendiri yakin bahwa tujuan itu sendiri bahkan tidak ada? Bahkan para ilmuan yang setia - pecinta obyektivitas - bekerja sesabar mungkin hanya karena kepercayaan mereka pada kemungkinan pencapaian tujuan itu. Berjuang akan menjadi sesuatu yang menggelikan (konyol dengan meminjam istilah emha), jika kita yakin bahwa seluruh perjuangan itu sia-sia.
Disinilah kita menemukan inti kesulitan kita akhir-akhir ini. Kita berbicara tentang pentingnya berkembang secara moral dan spiritual, tetapi sementara berbicara dengan sungguh-sungguh tentang “nilai-nilai baru” kita menemukan kecurigaan yang semakin besar. Yang semakin sering disuarakan, bahwa sesungguhnya nilai-nilai itu tidak ada.
Pandangan lama yang kita pegang tentang alam semesta yang diatur oleh Yang Maha atau Aku dengan “A kapital” sedang ditantang oleh konsep yang berlawanan tentang alam semesta yang tidak diatur sama sekali – sebuah alam semesta yang pada dasarnya irrasional dan tak bermakna.
Sungguh, makna final apa yang harus kita simpulkan dari rencana segala hal dimana seluruh realitas pasti justru ada yang semata-mata sebagai relativitas – dimana waktu itu sendiri tidak mempunyai definisi absolut. (penemuan Einsten bahwa waktu adalah relatif; berarti bahwa seorang pemuda mungkin melakukan perjalanan ke suatu bintang yang sangat jauh dalam kapal luar angkasa, dan kembali masih dalam keadaan muda, sementara orang yang ia tinggalkan sudah tua dan meninggal. Perjalanan yang hanya membutuhkan waktu 1 tahun menurut perhitungannya mungkin menghabiskan waktu 40 tahun menurut perhitungan di bumi).
Geometri Euklid, yang selama berabad-abad logikanya yang jelas dianggap sebagai “kebutuhan pemikiran” dan bukti nyata kesempurnaan hukum Allah, tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan logis sama sekali. To be continou

1 komentar:

Wah... Keknya udah lama gak apdet ni blog-nya.
Mimin mana Mimin?
Heee.. Hee......

Posting Komentar